Thursday, 21 December 2017

Yang Penting Jalan-Jalan


Udah mau akhir tahun 2017 masih ada aja orang yang tidak suka jalan-jalan. Ada salah satu teman saya, sukanya cuma jalan dari rumah, kampus, lab, terus pulang lagi kerumah, gitu-gitu aja kerjaannya sampai dia wisuda, dan dia menikmati semua itu. Kalau saya sih bisa jadi gila -_-..

Saya sendiri walaupun tinggal di Ujung baratnya Indonesia, sudah jalan-jalan ke beberapa provinsi yang ada di Indonesia dan ke negara tetangga menggunakan paspor RI, walaupun butuh perjuangan ekstra dan budget yang lebih mahal dikit, tapi itu semua bukan masalah kok kalau kita mau dan punya niat untuk jalan-jalan. Saya sering dikira orang yang banyak memilik waktu luang dan uang sehingga bisa sering jalan-jalan kemana saja. Padahal, saya hanyalah orang yang suka menyisihkan uang jajan tiap hari dan mencari uang dengan kerja sampingan hanya untuk menabung biar dikemudian hari bisa jalan-jalan. Siklus hidup saya itu, menabung > bekerja > menabung > jalan-jalan sampai tabungan menipis > lalu menabung lagi, dan begitu saja seterusnya. Motivasinya cuma satu "menabung lebih banyak agar bisa jalan-jalan lebih jauh lagi".

Bagi saya jalan jalan itu bisa menyegarkan otak, fisik, dan menambah wawasan serta pengetahuan, tapi yang palin penting mah menambah pergaulan dan makin banyak kawan. Jalan jalan kemana saja bisa, tidak mesti ke tempat yang bagus, tempat yang lagi hits, atau ke luar negeri, jalan jalan mah bebas kita mau kemana aja, yang penting di tempat itu kita bisa melakukan sesuatu yang baru. Menurut saya tidak ada tempat yang bagus atau jelek, yang ada tempat yang berbeda. Pernah suatu kali ketika saya jalan jalan ke satu daerah di Pulau Jawa, saya cuma nongkrong seharian di warung kopi pinggir jalan cuma untuk menikmati melihat warga daerah tersebut beraktifitas.

Kalau ditanya persiapan apa saja yang saya lakukan sebelum jalan jalan ? saya pasti jawab "beli tiket pulang pergi", udah itu saja. Saya lebih suka melakukan sesuatu yang tanpa terencana terlebih dahulu, soalnya kalau sudah direncakan terus akhirnya tidak jadi malah bakal bikin kecewa. Saya juga lebih senang menjadi independent traveler daripada ikut tour travel agent, padahal jalan jalan sendiri bisa lebih bebas tanpa ada yang mengatur (bukankah tujuan utama jalan jalan adalah untuk membebaskan diri dari aturan yang mengikat ?). Saya lebih suka jalan jalan sendiri daripada melakukan perjalanan dengan banyak teman, karena capek harus bertoleransi. Kalau jalan jalan sendiri bebas mau kemana dan pasti bakalan nambah teman baru. 


Banyak yang bilang "Dil, asik jalan jalan aja ya, banyak uang ya ?"
Padahal mereka tidak tau kalau semua itu adalah uang hasil tabungan -_-

Banyak orang berpikir bahwa jalan jalan harus ke luar negeri, harus ke tempat yang hits, padahal negara kita sendiri aja sangat luas dan sangat indah, Aceh saja cukup luas dan sangat indah loh, buat apa ke luar negeri kalau provinsi sendiri aja belum habis kita jelajahi ?

Friday, 10 November 2017

Cuap Cuap Tentang Penerbangan di Indonesia



Holla....

Kali ini mau sedikit bercuap cuap tentang pengalaman perjalanan menggunakan pesawat di Indonesia, lebih tepatnya sih ini curhat.

Ngertilah kan gimana susahnya kehidupan mahasiswa yang uang jajannya pas-pasan, kalau melakukan perjalanan jarak jauh apalagi harus naik pesawat, kita terpaksa harus naik pesawat ecek-ecek kelas ekonomi, yang didalamnya jumpa dengan berbagai jenis orang.

Nah diantara berbagai jenis orang tersebut, saya selalu jumpa dengan orang-orang yang kelakuannya membuat saya kasihan, sebal, sekaligus malu "padahal mereka adalah bangsa kita juga"..

Kelakuan mereka saat pertama memasuki pesawat dimana mereka sering kebingungan duduk di mana, sehingga kadang jadi salah duduk kursi dan akhirnya berubatan dengan orang yang beneran duduk di kursi tersebut, bahkan ada yang tidak mau dipisahkan dengan temannya meski salah nomor tempat duduk (kasihan sekaligu bikin sebal kan ?)..

Barang mereka yang bejibun banyaknya bahkan tidak muat di kabin pesawat dan ngotot tetap dimasukin juga (padahal kan bisa pesan bagasi, apalagi sekarang ada free bagasi 7kg). Lebih parah lagi saat takeoff, masih aja ada orang yang tidak tau harus menegakkan kursi dan pasang sabuk pengaman, bahkan ada yang lebih parah lagi masih sibuk main smartphone untuk selfie dan foto pemandangan dari jendela pesawat bahkan ada yang masih terima telepon dan balas sms saat pesawat takeoff.

Sehabis takeoff juga tidak kalah menyebalkannya, mulailah keluar bau-bauan yang tidak menyenangkan, seperti minyak kayu putih, minyak si nyong-nyong, balsem yang berbau pedas, dan bau-bauan menyengat lainnya. Tujuannya sih supaya tidak mabuk, tapi masih aja ada yang muntah.


Yang paling nyebelin itu adalah ada diantara mereka yang membuang sisa makanan di lantai pesawat, ada yang membuang kulit kacang di lantai pesawat (dikira ini pasar minggu). Soal toilet pun tidak kelewatan, bahkan ada yang nekat buang air kecil di lantai (ada air berwarna kuning menggenang di lantai). Bahkan saat turun pun mereka masih sibuk rebutan untuk turun duluan, mungkin terbiasa turun angkot ya yang kalau lama-lama bakalan dimarahi sama sopirnya.


Nah, semoga aja kita-kita semuanya terhindar dari perilaku yang diatas ya, jadilah orang cerdas yang mencerminkan orang Indonesia sebenarnya.

Jangan berharap kita jadi negara maju kalau mental kita aja belum siap untu maju.

Sunday, 1 October 2017

Novel Anak Rantau


"Maafkan, maafkan, maafkan, lupakan."
Kata-kata ini adalah salah satu kutipan yang paling menjiwai kisah di dalam novel karya Ahmad Fuadi ini. Ya, kisah-kisah yang dibawakan oleh penulis kelahiran Bayur Sumatera Barat ini memang selalu saja menarik bagi saya. Apalagi di dalam bukunya kali ini, berjudul Anak Rantau.

Anak Rantau, bagi saya yang pertama kali membaca sekilas judulnya berpikir bahwa buku ini akan bercerita tentang kisah anak kampung selama merantau ke kota. Tapi rupanya saya keliru, buku ini justru mengisahkan sebaliknya, kehidupan anak kota yang merantau di kampung halamannya, salah satu nagari di Sumatera Barat bernama Tanjung Durian. Dalam novel ini diceritakan bahwa kampung itu merupakan sebuah Nagari yang berada di tepi Danau Talago. Kehidupan di sana masih sangat tradisional, dengan perkampungan rumah gadang, rumah panggung, surau, danau yang penuh dengan karamba ikansawah, parak dan ladang, khas kampung Minangkabau. Bahkan di buku ini kampung Tanjung Durian itu dilengkapi dengan peta yang siap menggambarkan latar kisahnya.

Tokoh utama di novel ini adalah seorang anak SMP yang lama tinggal bersama ayahnya di Jakarta. Namanya Hepi. Bukan perempuan tapi laki-laki. Nama panjangnya lucu, Donwori Bihepi (ini ada ceritanya kenapa dia dikasih nama itu oleh Ayahnya). Tapi tak seperti namanya, sepanjang cerita ini si Hepi lebih banyak murung, sebal, keras kepala dan ya.. bandel.

Adapun ayahnya Hepi adalah Martiaz, seorang putra asli Tanjung Durian, anak dari seorang Datuk bernama Datuk Marajo Labiah. Di novel ini Martiaz diceritakan hidup menduda sejak ditinggal mati istri yang sangat dicintainya, lalu membesarkan sepasang anaknya seorang diri. Hepi adalah anak keduanya, tapi sering bermasalah di sekolah. Saat Martiaz mengambil rapor anaknya di salah satu SMP di Jakarta, dia termenung. Nilai Hepi buruk. Ditambah lagi perangai anaknya itu tidak jelas, sering menghilang. Akhirnya, Martiaz membawa Hepi pulang kampung. Hepi yang heran ayahnya tidak marah, justru senang diajak pulang ke kampung ayahnya di Tanjung Durian.

Nah, di sinilah kisah itu bermula. Yang paling membuat saya terhenyak adalah sewaktu Martiaz meninggalkan Hepi di kampung itu bersama kakeknya. Rupanya itulah hukuman dari ayahnya. Kalau melihat cover novel ini sekilas, di sana akan tampak jelas, seorang anak yang berdiri sendu menatap sebuah bus yang terus menjauh sambil menyandang ransel merah di punggungnya, lalu menggenggam topi merah di tangan kiri dan koper tumpah di tangan kanannya. Ia adalah Hepi. Anak itu kemudian duduk tepekur di atas kopernya dengan mata merah berkaca-kaca, sementara tangannya dipenuhi potongan bajunya yang diraup dari jalan karena berlari mengejar bus.

“Aku harus kembali ke Jakarta. Aku akan beli tiket sendiri!” kata Hepi dengan suara meninggi. Sendirian. Ia menangis benci, benci kesumat pada ayahnya yang tega meninggalkan anak Jakarta itu di kampung seperti ini.

Kisah itu perlahan mulai kaya dengan pengalaman Hepi setelah ditinggal ayahnya. Bagaimana ia dengan sabar mencari uang untuk membeli tiket pesawat ke Jakarta, lalu hidup dibawah didikan Datuk Marajo, bertemu Attar dan Zen, tinggal di surau, sampai menjadi sosok pahlawan Tanjung Durian dan terlibat dalam peristiwa kriminal yang hampir merenggut nyawanya. Novel ini mencapai titik klimaks ketika dia digantung hidup-hidup oleh komplotan pengedar narkoba.

Tapi, ya itulah. Novel ini bagi saya renyah. Ceritanya cukup realistis meskipun fiktif. Saya senang membacanya karena novel ini mengajarkan saya banyak hal tentang bagaimana kebiasaan dan adat istiadat orang Minangkabau dulu yang hari ini mulai terlupakan, diantaranya kehidupan anak surau, beladiri silek, dan mangaji serta filosofi “Alam takambang jadi guru”. Kisah ini seolah-olah menggambarkan semangat A. Fuadi untuk kembali mengingatkan orang rantau untuk mengenal tradisi negerinya dahulu, terutama orang Minang.

Pada akhirnya, saya tersadar makna dari judul novel ini dari sebuah paragraf yang ditulis A. Fuadi di akhir-akhir bab. “Bagi Hepi, alam tekembangnya kini adalah kampungnya, tempat dia berguru rupa-rupa. Jakarta terasa semakin jauh, kampung terasa semakin dekat. Dia masih menimbang-nimbang siapa dirinya kini. Anak Jakarta atau anak yang merantau ke kampung halaman ayahnya?”

Saturday, 25 February 2017

Supernova 3 : PETIR by Deelestari


"....kursi itu berguncang hebat pada akhirnya. Ternyata hidup tidak membiarkan satu orang pun lolos untuk cuma jadi penonton. Semua harus mencicipi ombak."


Buku ini adalah buku ke 3 dari seri Supernova karya Dewi Lestari. Setelah buku pertama berfokus pada cerita dimas, reuben, rana, ferre, gio, diva, dan Erwin, sedangkan bukun kedua fokus kepada cerita hidup Bodhi, maka buku ketiga ini fokus kepada sosok Elektra Wijaya.

Elektra Wijaya, gadis unik dan polos. Senang melihat petir sejak kecil (bahkan rela hujan hujanan demi menonton petir), pernah kesetrum listrik dan selamat tanpa cedera, dan juga pernah lolos dari sambaran halilintar. Elektra tinggal bersama ayahnya pemilik "Wijaya Elektronik" dan kakaknya Watti. Ayah Elektra mempunyai sebuah toko elektronik (yaitu rumahnya sendiri). Dirumah Elektra banyak barang barang elektronik yang tidak terpakai. Setelah Ayahnya meninggal, Elektra tinggal sendiri dirumah peninggalan ayahnya yang besar, sedangkan kakaknya Watti ikut suaminya Kang Atam ke Tembagapura. Elektra harus mengurus rumah itu sendiri, memulai hidup sebatang kara dengan keuangan yang seadanya, menghadapi pasang surut dan masalah yangd atang silih berganti seperti tawaran watti yang mengajaknya untuk hidup di tembagapura (padahal ini bentuk sindiran watti ke dia karena belum mendapatkan perkerjaan yang tetap), bukan berarti Elektra tidak mau mencari pekerjaan ya, berbagai macam sudah dia coba, dimulai dengan bisni MLM yang cuma mempunyai dua kaki (yang ikut MLM mungkin ngerti yaa :D), sampai ke rencana menyewakan rumahnya (tapi semua itu tidak berhasil).
Etra atau Elektra harus memulai hidup sebatang kara, kegiatan cuma tidur aja dirumah, makan mie dan telor, tetapi dalam kesendiriannya itu, dia tiba tiba mendapat tawaran menjadi dosen di STIGAN (Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional) "nah di bagian ini yang paling menarik, banyak kejadian lucunya, udah kek cerita komedi".
Berawal dari kejadian STIGAN dan akhirnya alur membawanya ke kehidupan Etra yang sebenarnya, dia bertemu dengan Ibu Sati yang menjadi guru spiritual dan melatih kekuatannya. Etra bertemu dengan Beatrice yang sedang membuka warnet dan akhirnya Etra kecanduan untuk main internet, Etra akhirnya menjadi Manusia Milenium. Dimulai dari warnet ini dia mulai berkenalan dengan Kewoy yang pada saat itu bekerja ditempat Beatrice. Dari Kewoylah Etra bertemu dengan Mpret. Atas saran Bu Sati akhirnya Etra membuka Elektra POP dengan bantuan Mpret, Kewoy, dan Mi'un kawannya Mpret.
Dari Elektra Pop inilah perjalan Hidup Elektra mulai berubah, menjadi Elektra yang baru.
.
.
.
Sangat saya sarankan untuk membaca seri ke 3 ini, karena seri ini berbeda dengan  seri 1 dan 2. Disini lebih menggunakan bahasa yang umum dan alurnya juga menarik dan banyak kejadian lucunya (kek baca tulisan raditya dika) banyak ketawanya.