Sunday, 1 October 2017

Novel Anak Rantau


"Maafkan, maafkan, maafkan, lupakan."
Kata-kata ini adalah salah satu kutipan yang paling menjiwai kisah di dalam novel karya Ahmad Fuadi ini. Ya, kisah-kisah yang dibawakan oleh penulis kelahiran Bayur Sumatera Barat ini memang selalu saja menarik bagi saya. Apalagi di dalam bukunya kali ini, berjudul Anak Rantau.

Anak Rantau, bagi saya yang pertama kali membaca sekilas judulnya berpikir bahwa buku ini akan bercerita tentang kisah anak kampung selama merantau ke kota. Tapi rupanya saya keliru, buku ini justru mengisahkan sebaliknya, kehidupan anak kota yang merantau di kampung halamannya, salah satu nagari di Sumatera Barat bernama Tanjung Durian. Dalam novel ini diceritakan bahwa kampung itu merupakan sebuah Nagari yang berada di tepi Danau Talago. Kehidupan di sana masih sangat tradisional, dengan perkampungan rumah gadang, rumah panggung, surau, danau yang penuh dengan karamba ikansawah, parak dan ladang, khas kampung Minangkabau. Bahkan di buku ini kampung Tanjung Durian itu dilengkapi dengan peta yang siap menggambarkan latar kisahnya.

Tokoh utama di novel ini adalah seorang anak SMP yang lama tinggal bersama ayahnya di Jakarta. Namanya Hepi. Bukan perempuan tapi laki-laki. Nama panjangnya lucu, Donwori Bihepi (ini ada ceritanya kenapa dia dikasih nama itu oleh Ayahnya). Tapi tak seperti namanya, sepanjang cerita ini si Hepi lebih banyak murung, sebal, keras kepala dan ya.. bandel.

Adapun ayahnya Hepi adalah Martiaz, seorang putra asli Tanjung Durian, anak dari seorang Datuk bernama Datuk Marajo Labiah. Di novel ini Martiaz diceritakan hidup menduda sejak ditinggal mati istri yang sangat dicintainya, lalu membesarkan sepasang anaknya seorang diri. Hepi adalah anak keduanya, tapi sering bermasalah di sekolah. Saat Martiaz mengambil rapor anaknya di salah satu SMP di Jakarta, dia termenung. Nilai Hepi buruk. Ditambah lagi perangai anaknya itu tidak jelas, sering menghilang. Akhirnya, Martiaz membawa Hepi pulang kampung. Hepi yang heran ayahnya tidak marah, justru senang diajak pulang ke kampung ayahnya di Tanjung Durian.

Nah, di sinilah kisah itu bermula. Yang paling membuat saya terhenyak adalah sewaktu Martiaz meninggalkan Hepi di kampung itu bersama kakeknya. Rupanya itulah hukuman dari ayahnya. Kalau melihat cover novel ini sekilas, di sana akan tampak jelas, seorang anak yang berdiri sendu menatap sebuah bus yang terus menjauh sambil menyandang ransel merah di punggungnya, lalu menggenggam topi merah di tangan kiri dan koper tumpah di tangan kanannya. Ia adalah Hepi. Anak itu kemudian duduk tepekur di atas kopernya dengan mata merah berkaca-kaca, sementara tangannya dipenuhi potongan bajunya yang diraup dari jalan karena berlari mengejar bus.

“Aku harus kembali ke Jakarta. Aku akan beli tiket sendiri!” kata Hepi dengan suara meninggi. Sendirian. Ia menangis benci, benci kesumat pada ayahnya yang tega meninggalkan anak Jakarta itu di kampung seperti ini.

Kisah itu perlahan mulai kaya dengan pengalaman Hepi setelah ditinggal ayahnya. Bagaimana ia dengan sabar mencari uang untuk membeli tiket pesawat ke Jakarta, lalu hidup dibawah didikan Datuk Marajo, bertemu Attar dan Zen, tinggal di surau, sampai menjadi sosok pahlawan Tanjung Durian dan terlibat dalam peristiwa kriminal yang hampir merenggut nyawanya. Novel ini mencapai titik klimaks ketika dia digantung hidup-hidup oleh komplotan pengedar narkoba.

Tapi, ya itulah. Novel ini bagi saya renyah. Ceritanya cukup realistis meskipun fiktif. Saya senang membacanya karena novel ini mengajarkan saya banyak hal tentang bagaimana kebiasaan dan adat istiadat orang Minangkabau dulu yang hari ini mulai terlupakan, diantaranya kehidupan anak surau, beladiri silek, dan mangaji serta filosofi “Alam takambang jadi guru”. Kisah ini seolah-olah menggambarkan semangat A. Fuadi untuk kembali mengingatkan orang rantau untuk mengenal tradisi negerinya dahulu, terutama orang Minang.

Pada akhirnya, saya tersadar makna dari judul novel ini dari sebuah paragraf yang ditulis A. Fuadi di akhir-akhir bab. “Bagi Hepi, alam tekembangnya kini adalah kampungnya, tempat dia berguru rupa-rupa. Jakarta terasa semakin jauh, kampung terasa semakin dekat. Dia masih menimbang-nimbang siapa dirinya kini. Anak Jakarta atau anak yang merantau ke kampung halaman ayahnya?”